Selama bertahun-tahundengan pendekatan pembangunan desa yang sentralistik, pembangunan di Indonesia lebih berpusat pada wilayah perkotaan, terutama di Pulau Jawa. Desa-desa di luar wilayah strategis seringkali hanya menjadi pelengkap statistik dan program jangka pendek. Konseptual “pembangunan berkeadilan” hanya menjadi jargon ketika desa-desa masih harus berjuang untuk infrastruktur dasar seperti jalan, listrik dan air bersih, Ketimpangan pembangunan ini menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi yang mencolok. Desa kehilangan banyak potensi manusianya karena urbanisasi paksa — bukan karena kesadaran, melainkan karena ketimpangan akses dan peluang. Anak-anak muda desa lebih memilih menjadi buruh di kota atau pekerja migran daripada menjadi pelaku utama pembangunan di tanah kelahirannya sendiri.
Perjalanan UU Desa telah satu dasawarsa, namun desa masih menghadapi tantangan di berbagai bidang. Misalnya di bidang ekonomi dan investasi, masih rendahnya kapasitas PADes terhadap APBDes, rendahnya daya saing produk unggulan desa, kurang berkembangnya BUMDes dan BUMDes Bersama. Di bidang infrastruktur, masih terbatasnya aksesbilitas dan konektivitass baik fisik maupun digital. Di bidang sumber daya manusia, masih rendahnya kompetensi, kapabilitas, dan kapasitas aparatur desa, lembaga kemasyarakatan dan masyarakat desa. Dari aspek lingkungan, masih minimnya kesadaran masyarakat desa terhadap perubahan iklim dan resiliensi bencana. Kemudian dari aspek sosial budaya, terjadi kecenderungan menurunnya nilai-nilai adat lokal sebagaikekayaan bangsa sekaligus modal pembangunan desa. Dan yang terakhir dari aspek tata kelola, permasalahan transparansi dan akuntabilitas serta sinergitas antar program masih sering mewarnai dalam pembangunan desa. Oleh karena itu, makna merdeka bagi desa adalah ketika negara benar-benar adil dalam alokasi pembangunan. Ketika tidak ada lagi desa yang ditinggalkan dalam narasi besar kemajuan bangsa. Ketika pembangunan bukan hanya soal membangun kota, tetapi juga membangun harapan dan martabat desa.
Dana Desa: Harapan dan Tantangan dalam Mewujudkan Kemandirian
Salah satu tonggak penting dalam perjalanan desa menuju kemandirian adalah hadirnya kebijakan Dana Desa sejak tahun 2015. Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan ruang baru bagi desa untuk tumbuh secara otonom, berdasarkan potensi dan kearifan lokal. Pemberian Dana Desa yang langsung ditransfer ke Desa, diharapkan dapat menjadi “darah segar” yang mengalir ke Apbdes menguatkan sumber keuangan desa. Dana Desa diharapkan menjadi stimulus dalam menggerakkan potensi dan asset Desa. Pada tahun 2015 telah disalurkan 20,70 Trilyun, yang terus meningkat setiap tahunnya hingga tahun 2024 total mencapai Rp 609,9 Trilyun (Kemendesa dan PDT, 2025). Berbagai capaian penggunaan Dana Desa sejak tahun 2015 hingga tahun 2024, diantaranya dalam upaya menunjang aktivitas ekonomi masyarakat ; jalan desa sepanjang 366.080 km, jembatan sepanjang 1.947.785 m, pasar desa sebanyak 14.752 unit, BUMDesa terbentuk 43.245 unit kegiatan, dan tambatan perahu sebanyak 9.330 unit. Kemudian yang berkaitan dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat desa, telah terbangun air bersih sebanyak 1.775.479 unit, MCK sebanyak 545.320 unit, polindes sebanyak 27.015 unit, PAUD sebanyak 96.163 kegiatan, Posyandu sebanyak 46.611 unit dan drainase sepanjang 54.105.061 meter (Kemendesa dan PDT, 2025).
Lantas, apakah Dana Desa otomatis memerdekakan desa?Faktanya, tidak sedikit desa yang belum mampu mengelola dana ini secara optimal. Banyak faktor yang memengaruhi, mulai dari kapasitas sumber daya manusia aparatur pemerintah desa, keterbatasan kemampuan perencanaan, hingga praktik-praktik koruptif oleh oknum. Bahkan, dalam beberapa kasus, Dana Desa justru menimbulkan ketergantungan baru pada pemerintah pusat. Desa menjadi seolah-olah menunggu kucuran dana setiap tahun untuk melaksanakan pembangunan, bukan entitas mandiri yang mengelola sumber dayanya sendiri. Padahal filosofi pemberian Dana Desa diharapkan menjadi stimulant untuk menggerakkan berbagai potensi dan asset desa untuk menghasilkan sumber-sumber kekuangan baru bagi pembangunan dan kesehateraan masyarakat. Maka, makna merdeka bagi desa adalah ketika Dana Desa tidak hanya menjadi instrumen fiskal, tapi menjadi alat transformasi ekonomi, sosial, dan budaya desa. Ketika Dana Desa digunakan bukan hanya untuk membangun fisik, tetapi membangun manusia dan membangkitkan produktivitas masyarakat.Kemerdekaan desa terletak pada kemandirian, dan kemandirian tidak datang dari pemberian, melainkan dari kesadaran kolektif untuk mengelola aset, mengembangkan potensi, dan menjaga nilai-nilai gotong royong sebagai kekuatan sosial masyarakat desa.
Kemandirian Desa: Pilar Kemerdekaan Sejati
Kemandirian desa adalah indikator utama bahwa desa telah benar-benar merdeka. Kemandirian bukan berarti desa menutup diri, tetapi memiliki kemampuan untuk mengelola kehidupannya sendiri, yang ditandai dengan kemampuan membina kehidupan demokrasi dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan masyarakat, berdaya dalam mengelola ekonomi sebagai sumber kesejahteraan, serta mampu menjaga dan merawat modal sosial dan budaya sebagai kearifan lokal, dengan tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.