Belajar dari Fenomena Kemenangan Kotak Kosong dalam Pilkada Serentak 2024: Sebuah Refleksi Demokrasi di Indonesia

Foto : Istimewa
Bagikan

Ironisnya, tindakan borong partai sering kali justru merugikan kandidat yang diusung. Tanpa kompetitor, calon tunggal terjebak dalam zona nyaman, sehingga abai terhadap upaya meraih kepercayaan rakyat. Di Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka, terbukti bahwa dukungan partai politik tidak otomatis menghasilkan kemenangan di bilik suara. Ini menjadi pembelajaran bahwa dukungan elite tidak bisa menggantikan suara rakyat.

Pilkada adalah pilar penting dalam sistem demokrasi Indonesia. Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 secara tegas menyatakan bahwa pemilu adalah manifestasi kedaulatan rakyat. Namun, ketika pilkada berubah menjadi ajang formalitas karena hanya ada satu calon, maka substansi demokrasi menjadi hampa.

Keberadaan 37 calon tunggal di Pilkada 2024 menunjukkan kegagalan partai dalam merekrut dan memunculkan kader-kader potensial. Demokrasi yang sehat membutuhkan kompetisi, bukan aklamasi. Dalam kasus Kabupaten Bangka dan Kota Pangkalpinang, tidak adanya calon lain bukan karena minimnya figur, tetapi karena seluruh partai menutup akses terhadap kandidat alternatif. Jalur independen pun dirasa sangat berat dan tidak ramah bagi calon dengan niat tulus, tetapi tidak punya logistik besar.

Oleh sebab itu, kemenangan kotak kosong tidak boleh hanya dimaknai sebagai anomali, tetapi harus dipahami sebagai teguran keras rakyat kepada partai politik. Demokrasi bukan tentang memenangkan kekuasaan, tetapi soal memperjuangkan aspirasi dan kepercayaan rakyat. Ketika partai lebih mengandalkan kekuatan struktural daripada pendekatan substantif, maka rakyat akan mencari jalannya sendiri, termasuk memilih kotak kosong sebagai bentuk protes.

Fenomena kemenangan kotak kosong memberi pesan penting bahwa rakyat Indonesia makin cerdas dalam berdemokrasi. Mereka tidak mudah tunduk pada manuver elite. Mereka tahu kapan harus berkata “tidak”. Maka, tantangan ke depan adalah mengembalikan marwah partai politik sebagai pilar demokrasi, bukan sekadar alat transaksi kekuasaan.

Pendidikan politik harus diarahkan bukan hanya kepada rakyat, tetapi juga kepada elite dan kader partai. Mereka harus menyadari bahwa rakyat kini bukan hanya pemilih pasif, tetapi aktor kritis yang bisa memberikan penilaian atas kualitas dan integritas calon pemimpin.

Bacaan Lainnya

Jika partai gagal menangkap pesan ini, maka bukan tidak mungkin fenomena kotak kosong akan terus terulang, dan itu berarti sistem demokrasi kita akan terus diuji. Namun justru di situlah harapan tumbuh bahwa rakyat Indonesia tetap menjadi penjaga utama demokrasi, bahkan ketika para elite mulai lupa arah. (*)

Pos terkait