Belajar dari Fenomena Kemenangan Kotak Kosong dalam Pilkada Serentak 2024: Sebuah Refleksi Demokrasi di Indonesia

Foto : Istimewa
Bagikan

Oleh: Sugito, S.Sos, M.H.
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Pemerintahan IPDN
Pj. Gubernur Bangka Belitung 2024–2025

Pilkada Serentak 2024 yang digelar di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota menjadi momentum penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Dinamika yang terjadi di berbagai daerah menunjukkan wajah demokrasi yang kompleks ada yang sudah memperoleh hasil final, namun tidak sedikit pula yang berujung pada sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi. Tercatat, sebanyak 310 perkara telah diregistrasi MK, meliputi 23 perkara pemilihan gubernur, 238 perkara bupati, dan 49 perkara wali kota di 233 kabupaten/kota.

Dari sekian banyak fenomena, satu yang menarik perhatian publik adalah munculnya kemenangan kotak kosong di sejumlah daerah. Berdasarkan data, terdapat 37 daerah yang hanya memiliki calon tunggal: 1 provinsi, 31 kabupaten, dan 5 kota. Menariknya, dua daerah Kabupaten Bangka dan Kota Pangkalpinang di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dimenangkan oleh kotak kosong, yang mengharuskan digelarnya pilkada ulang pada Agustus 2025 mendatang.

Secara logika politik, keberadaan calon tunggal yang didukung seluruh partai mestinya menggambarkan konsensus kuat. Namun kenyataannya, dukungan politik tidak linier dengan dukungan masyarakat. Muncul gerakan-gerakan yang secara terbuka mendorong kemenangan kotak kosong sebagai bentuk perlawanan atas dominasi politik elite. Ini menjadi refleksi tajam bahwa rakyat menolak calon yang disodorkan secara sepihak oleh partai politik.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU-XIII/2015 menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan pilkada dengan calon tunggal. Peraturan KPU No. 13 Tahun 2018 menyatakan bahwa pemilih tetap diberi dua pilihan: mencoblos pasangan calon atau memilih kolom kosong tanpa gambar. Ini membuka ruang bagi rakyat untuk menyatakan ketidaksetujuan terhadap calon yang ada, sebagai bentuk ekspresi demokratis.

Kemenangan kotak kosong mencerminkan bahwa rakyat tetap memiliki kedaulatan penuh untuk menentukan siapa yang layak memimpin. Masyarakat tidak serta merta tunduk pada keputusan partai politik. Dalam sistem demokrasi, yang terpenting bukan hanya proses memilih, tetapi juga pilihan untuk menolak apabila tidak tersedia opsi yang dianggap mewakili aspirasi mereka. Kemenangan kotak kosong di dua daerah tersebut menjadi simbol kuat penolakan rakyat terhadap arogansi partai politik yang cenderung menutup ruang kompetisi.

Bacaan Lainnya

Fenomena borong partai menjadi salah satu penyebab utama munculnya calon tunggal di banyak daerah. Ketika seluruh partai kompak mendukung satu pasangan calon, maka tidak ada ruang legal bagi calon lain untuk maju, karena tak ada kendaraan politik. Ini bukan cerminan konsensus sehat, melainkan indikasi bahwa partai lebih sibuk mengamankan kekuasaan daripada membuka ruang demokrasi.

Di sinilah demokrasi kita menghadapi ujian. Ketika partai politik seharusnya menjadi alat demokrasi untuk menyediakan pilihan dan kompetisi ide, yang terjadi justru mereka berubah menjadi alat kompromi elite. Rakyat pun melihat bahwa dalam banyak kasus, kandidat tidak lahir dari aspirasi masyarakat, tetapi dari skenario elite. Ketika itu terjadi, wajar jika rakyat memilih untuk melawan lewat kotak kosong.

Pos terkait