Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Audiensi dengan DPRD Babel

Bagikan

TopBabel.com – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kepulauan Bangka Belitung melakukan audiensi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kepulauan Babel terkait Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 dan Surat Edaran Pj Gubernur Provinsi Kepulauan Babel. Audiensi tersebut diterima langsung oleh Wakil Ketua DPRD Babel, Edi Nasapta, beserta anggota DPRD Babel, Rina Tarol dan Maryam, di ruang Pansus DPRD Provinsi Babel.

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 memuat kebijakan untuk membatasi kegiatan yang bersifat seremonial, kajian, percetakan, publikasi, serta seminar dan forum diskusi kelompok (FGD). Namun, dalam implementasinya, muncul perbedaan tafsir di tingkat daerah, terutama dalam surat edaran yang dikeluarkan oleh Pj Gubernur Kepulauan Bangka Belitung.

Surat Edaran Pj Gubernur Babel Nomor 903 tanggal 11 Februari 2025 memuat aturan yang lebih ketat, yakni menghapus total belanja paket meeting serta mengalihkan tempat pelaksanaan kegiatan ke ruang rapat pemerintah atau melalui virtual meeting. Kebijakan ini menimbulkan dampak besar bagi industri perhotelan dan restoran, terutama yang bergantung pada penyelenggaraan acara dan pertemuan pemerintah.

Menurut Wakil Ketua DPRD Babel, Edi Nasapta, kebijakan dalam Surat Edaran Pj Gubernur Babel perlu dikaji ulang karena tidak selaras dengan Inpres No.1 Tahun 2025. Inpres tersebut hanya meminta pembatasan, bukan penghapusan anggaran secara total.

“Artinya, kita mengefisiensi, bukan menghapus. Nanti kita minta Pj Gubernur Babel untuk merevisi surat edaran yang disampaikannya,” ujar Edi Nasapta dalam audiensi pada Jumat (21/02/2025).

DPRD menekankan bahwa sebelum surat edaran tersebut diberlakukan, sebaiknya dilakukan peninjauan ulang agar tidak bertentangan dengan kebijakan pusat yang dikeluarkan oleh Presiden Prabowo Subianto.

Ketua PHRI Babel, Wendo Irwanto, menyampaikan bahwa kebijakan ini sangat berdampak negatif terhadap sektor perhotelan dan pariwisata di Bangka Belitung. Menurutnya, industri ini sudah mengalami penurunan signifikan, dan aturan baru ini memperburuk kondisi yang ada.

“Kami sangat senang karena apa yang kami utarakan sudah dicari langkah konkretnya oleh dewan. Setelah kami lihat, Inpres hanya membatasi, tetapi turun ke Surat Edaran Pj Gubernur menjadi penghapusan total,” ungkapnya.

Wendo menegaskan bahwa keputusan pemerintah harus mempertimbangkan dampak ekonomi, terutama bagi sektor perhotelan yang mengandalkan pertemuan, seminar, dan acara resmi.

Dampak dari penghapusan belanja paket meeting ini sudah terlihat, dengan banyaknya hotel yang mulai mem-PHK karyawan atau menerapkan sistem kerja bergilir.

“Sekarang kami mendata ada sekitar 20 hotel dan restoran yang sudah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Saat ini, sekitar 300 orang pekerja terkena dampak, baik melalui PHK, dirumahkan, atau bekerja dengan sistem bergilir,” tambah Wendo.

Jika kebijakan ini tidak direvisi, dikhawatirkan jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan akan terus bertambah dan lebih banyak hotel serta restoran yang terpaksa tutup.

Sektor pariwisata merupakan salah satu penggerak utama ekonomi daerah di Bangka Belitung. Dengan adanya kebijakan yang membatasi secara ketat bahkan menghapus anggaran untuk kegiatan pertemuan, maka pendapatan dari sektor ini semakin terpuruk.

“Kami berharap pemerintah lebih serius dalam memprioritaskan pariwisata sebagai salah satu sektor ekonomi utama di daerah. Jika sektor ini terus dikesampingkan, dampaknya akan sangat besar bagi perekonomian masyarakat,” tegas Wendo.

Pihak PHRI mendesak agar ada kebijakan yang lebih fleksibel, di mana pembatasan dilakukan tanpa menghilangkan sepenuhnya anggaran untuk kegiatan yang berhubungan dengan perhotelan. (*)