Mereka menjalankan proyek bersama, menyelesaikan konflik melalui musyawarah, dan membangun rasa saling percaya. Hubungan antarwarga menjadi lebih erat karena mereka memiliki tujuan bersama dan mengalami proses pembangunan sebagai sebuah perjalanan kolektif.
Dampak Nyata di Korea Selatan
Penerapan ketiga nilai tersebut menghasilkan dampak luar biasa. Dalam waktu kurang dari dua dekade, ribuan desa di Korea Selatan mengalami peningkatan signifikan dalam hal infrastruktur, produktivitas pertanian, sanitasi, dan kualitas hidup. Lebih dari itu, perubahan mentalitas dan budaya kerja masyarakat menjadi modal utama dalam mempercepat pembangunan nasional.
Desa tidak lagi menjadi beban, melainkan menjadi motor pertumbuhan dan sumber daya manusia berkualitas. Gerakan ini juga melahirkan generasi pemimpin lokal yang mampu mengorganisir masyarakat secara partisipatif dan bertanggung jawab.
Pendekatan dari bawah ke atas ini kemudian diadopsi dalam berbagai kebijakan nasional, bahkan direplikasi oleh negara-negara lain di Asia dan Afrika melalui program bantuan pembangunan internasional Korea.
Penerapan untuk Indonesia
Lantas, bagaimana penerapan nilai-nilai ini bisa dilakukan di Indonesia? Pertama, perlu adanya komitmen nasional untuk menjadikan pembangunan desa sebagai prioritas jangka panjang.
Program Dana Desa yang telah berjalan sejak 2015 menjadi langkah awal yang penting. Namun, perlu ditingkatkan dengan strategi pendampingan, pelatihan, dan evaluasi berbasis kinerja.
Desa bukan sekadar penerima anggaran, melainkan pelaku pembangunan itu sendiri. Kedua, penting untuk menanamkan nilai kerja keras sebagai budaya desa. Ini bisa dilakukan melalui program pelatihan kewirausahaan, pengembangan keterampilan lokal, serta penghargaan bagi desa yang berprestasi.
Pemerintah daerah dan pusat harus membangun sistem yang mendorong produktivitas, bukan ketergantungan. Desa-desa yang mampu menciptakan inovasi lokal sebaiknya diberi insentif lebih besar agar bisa menjadi contoh bagi desa lain. Ketiga, semangat gotong royong harus dihidupkan kembali bukan hanya sebagai tradisi, tetapi sebagai strategi pembangunan. Kegiatan gotong royong dapat diarahkan pada proyek nyata seperti pembangunan infrastruktur desa, pemeliharaan lingkungan, dan pengembangan usaha desa.
Peran tokoh masyarakat, pemuda, dan perempuan harus diperkuat dalam proses ini, karena mereka adalah agen perubahan paling dekat dengan kehidupan warga. Keempat, membangun kerja sama yang kuat antara pemerintah, masyarakat, dan swasta sangat penting. Saemaul Undong berhasil karena ada sinergi antara negara dan rakyat.
Di Indonesia, kerja sama ini dapat diwujudkan melalui kemitraan antara desa dan dunia usaha, pengembangan BUMDes dan koperasi yang profesional, serta kolaborasi lintas sektor. Desa harus diberikan ruang untuk mengatur dirinya sendiri, namun tetap dalam kerangka regulasi dan pendampingan yang jelas. Kelima, pentingnya pendidikan dan pelatihan dalam menciptakan perubahan sosial tidak boleh diabaikan. Dalam pengalaman Korea Selatan, pelatihan kepemimpinan dan manajemen proyek menjadi kunci keberhasilan.
Indonesia dapat mengembangkan pusat-pusat pelatihan desa di setiap provinsi yang mengintegrasikan nilai-nilai lokal dan inovasi global. Pendidikan berbasis desa dapat mendorong lahirnya pemimpin desa yang visioner, jujur, dan mampu menggerakkan warganya.
Tantangan dan Peluang Desa di Indonesia
Tentu saja, tidak semua pendekatan Saemaul Undong bisa diterapkan secara langsung di Indonesia karena perbedaan konteks sejarah, sosial, dan politik. Keragaman budaya dan karakteristik wilayah yang membutuhkan pendekatan lokal yang spesifik, sebagian kapasitas SDM di desa masih rendah dan perlu penguatan berkelanjutan, dan pengaruh politik lokal yang kadang menjadi penghambat partisipasi dan keberlanjutan program. Namun, esensi gerakannya adalah mengubah mentalitas, memberdayakan masyarakat, dan membangun solidaritas sosial, sangat sesuai dengan semangat Pancasila dan cita-cita keadilan sosial.
Transformasi desa di Indonesia tidak cukup dengan anggaran besar, tetapi dengan membangun kembali rasa percaya diri masyarakat desa untuk menentukan masa depan mereka sendiri. Seperti di Korea Selatan, pembangunan desa harus melibatkan masyarakat secara aktif. Musyawarah desa bisa diubah menjadi forum produktif yang tidak hanya membahas kebutuhan, tetapi juga mengembangkan inovasi dan strategi bersama.
Kepala desa bukan hanya pejabat administratif, tetapi pemimpin sosial yang mampu menginspirasi dan menggerakkan warganya. Pelatihan kepemimpinan dan pengelolaan dana bagi kepala desa sangat penting untuk mewujudkan visi ini. Dana Desa harus dikelola dengan prinsip keadilan dan efisiensi.
Korea Selatan hanya melanjutkan bantuan kepada desa yang benar-benar bekerja keras dan mampu mempertanggungjawabkan hasil. Mekanisme seperti audit partisipatif dan laporan publik bisa diterapkan di Indonesia. Pembangunan desa harus menjadi gerakan nasional, bukan proyek pemerintah semata.
Ia harus tumbuh dari bawah, melibatkan semua elemen masyarakat, dan berorientasi pada keberlanjutan. Jika Korea Selatan berhasil menjadikan desa sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi, maka Indonesia pun mampu tentu dengan satu syarat: mau belajar, mau berubah, dan mau percaya bahwa kekuatan desa adalah kekuatan bangsa.
Penutup
Dengan belajar dari keberhasilan Saemaul Undong, Indonesia tidak hanya mendapat inspirasi, tetapi juga arah baru dalam membangun desa yang mandiri, berdaya saing, dan bermartabat. Di bawah Asta Cita Presiden, membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan, maka spirit kerja keras, kemandirian dan gotong royong serta kerjasama multi pihak dapat diinfiltrasikan dalam ruang kebijakan dan pelaksanaan pembangunan serta pemberdayaan masyarakat desa.
Saatnya desa menjadi pusat kemajuan, bukan lagi simbol keterbelakangan. Pembangunan desa bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan proyek perubahan sosial yang mengakar dalam nilai-nilai luhur bangsa. Dan seperti Korea Selatan, kita pun bisa “bangun desa bangun Indonesia, Desa terdepan untuk Indonesia. “
*) Sugito adalah mahasiswa program Doktoral Ilmu Pemerintahan_IPDN dan Pj. Gubernur Bangka Belitung 2024-2025, serta Staf Ahli Bidang Hubungan Antar lembaga Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal. (**)